
Ketiganya merupakan nagari serumpun yang dikenal dengan pemeo, “Abak Koto Tangah, Amak Pauh (Kecamatan Pauh dan Kuranji) dan anak Nanggalo. ”
“Artinya, orang menangis, kita sabak. Kita ikut bersedih dengan bencana yang menimpa saudara-saudara kita,” ujar Osman Ayub.
Dikatakannya, akibat bencana ini, sebagian warga kota tidak punya rumah, karena hanyut.”Ini kejadian luar biasa. Artinya, kita kembali ke budaya yang ada. Orang terkena bencana kita hormati,” harapnya.
Selain itu, Osman Ayub memiliki harapan kepada tokoh masyarakat di 11 kecamatan, 104 kelurahan, untuk mengimbau masyarakat agar menghormati budaya yang ada dalam kondisi saat ini.
























































