Aspirasi kini bisa disampaikan melalui media sosial, seperti platform petisi online. Bukan hanya melalui aksi fisik seperti demonstrasi.
Tentunya hal ini merupakan dampak dari pesatnya perkembangan bidang teknologi, informasi, dan komunikasi.
Banyak kalangan memanfaatkan platform petisi online sebagai alat advokasi jenis baru untuk mengaspirasikan kepentingan mereka dan mengambil bagian secara tidak langsung dalam melakukan perubahan.
Salah satu bentuk advokasi digital adalah petisi online. Petisi online adalah platform digital yang memungkinkan orang atau organisasi mengumpulkan dukungan publik untuk tujuan atau kampanye tertentu dalam bentuk tanda tangan online (Simamora, 2018).
Pihak yang kontra dan menentang pembangunan IKN beradvokasi menggunakan platform petisi online. Petisi yang berjudul “Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibu Kota Negara” itu diunggah pada laman petisi online change.org.
Petisi ini diinisiasi oleh 45 tokoh publik pada Februari 2022. Dilansir dari CNBC (2022), para penentang berpikir bahwa merelokasi dan membangun ibu kota negara baru hanya akan menguntungkan segelintir orang, bukan masyarakat secara keseluruhan.
Menurut Hutasoit (2018), pembangunan IKN ditengarai tidak merangkum secara baik dalam kajian akademik secara komprehensif dan inklusif, terutama terkait dengan konteks geologis dan strategis, dukungan finansial, dan penanggulangan pandemi.
Pemindahan Ibukota ini tentu masih banyak menuai kontroversi karena dinilai kebijakan tersebut di tetapkan untuk memuluskan bisnis-bisnis para oligarki di Indonesia, karna mereka berpikir bahwasanya ketika ibukota di pindahkan maka itu jadi kesempatan mereka untuk mengundang para investor baru, di sisi lain publik menilai justru ini adalah sebuah langkah kemajuan yang dilakukan oleh pemerintahan, karena publik menilai DKI Jakarta sudah terlalu lusuh untuk tetap menjadi wajah ibukota negara. (*)