Hal ini memungkinkan terjadinya partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dalam konteks inilah, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi manifestasi yuridis dari nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam Pancasila.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, meniscayakan terbangunnya kepercayaan antara negara dan masyarakat. Dalam iklim politik yang rentan terhadap polarisasi dan penyebaran informasi yang menyesatkan (hoaks), keterbukaan informasi menjadi instrumen penting dalam menjaga kohesi sosial.
Dengan memberikan akses informasi yang jujur dan transparan, lembaga-lembaga publik dapat memperkuat legitimasi sosialnya serta mengurangi potensi konflik. Keterbukaan informasi menciptakan ruang dialog yang inklusif dan partisipatif, di mana setiap warga negara merasa dihargai, didengarkan, dan memiliki peran dalam pembangunan nasional.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menegaskan bahwa demokrasi deliberatif hanya dapat berjalan apabila tersedia akses informasi yang luas dan merata. Dalam kerangka ini, keterbukaan informasi menjadi syarat mutlak bagi terciptanya proses musyawarah yang berkualitas dan berkeadaban.