Tidak saja kebijakan semata, statemen yang dikeluarkan dari pengambil kebijakan pusat dan propinsi membuat kami pemerintah terdepan yang langsung berhadapan dengan rakyat yang menjadi sasaran empuk masyarakat, dicaci, dihina, difitnah dan sebagainya. Semua ini bisa kami terima dengan lapang dada. Itupun telah menjadi resiko kami sebagai perpanjangan tangan pemerintah pada level palin rendah.
Akibatnya, masyarakat menjadi geram, bantuan yang di iming imingi pemerintah itu telah menengelamkan isu COVID19 YANG terus mengancam. Bahkan sampai sampai masyarakat memalang kantor wainagari/Desa. Sementara Walinagari/Kepala Desa terbatas dalam kebijakan kebijakan, baik dalam melahirkan regulasi dalam nilai nilai kearifan lokal tak diberikan peluang. Sebagai pemerintah terendah kami dalam dilema dan tekanan dari pemerintah diatas dan tekanan dari masyarakat.
Persoalan demi persoalan memasuki babak baru, data penerima bantuan dari pemerintah pusat itu telah dinilai akurat dan tak bisa lagi kami robah, dengan keterpaksaan kami Walinagari/Kepala Desa menandatangani persetujuan data yang telah di SK oleh Kementerian Sosial RI, sebab data tersebut dilbilang akurat oleh pemerintah pusat, meski nama nama dan data tersebut ada warga yang telah meninggal, ada warga yang pindah serta warga yang telah berobah status ekonominya. Bila merujuk data saat ini mereka masih berhak, meski telah berada di alam baqa. Data DTKS yang selalu dibanggakan itu masih mengacu pada data tahun 2014.























































